Welcome

Setting beralih ke sebuah pelataran masjid. Angin sepoi ringan namun terkesan menusuk. Pelita matahari hangat merembes ke pilar-pilar pelatar.

“Gue kecewa, bro….” wajah gue sengaja dibikin memelas. Tangan menopang dagu, mata nanar menatap kosong.

Si ‘bro’ hanya tersenyum tipis. Tak ada reaksi berarti.

“Loe tahu kan gue kemaren bela-belain nulis ‘the last jomblo’ unek-unek gue tentang pacaran…. maksiat yang begitu lestari….”

“Yep… terus emangnya kenapa?” ‘bro’ balik tanya…

“Nah, itu dia. Hati gue perih teriris-iris. Kelopak mata gue sembab menahan air mata. Gue kecewa berat, bro! Gue emang gak berharap banyak dari selebaran kucel butut yang huruf-hurufnya aja gak kebaca jelas itu. Tapi paling nggak gue pengen ada ketersinggungan yang jelas dari orang-orang yang nyempetin membacanya. Gue berharap ada yang sampai merobek-robek selebaran itu, sampai menginjaknya, meludahinya, atau malah membakarnya sebagai manifestasi rasa tersinggung. Tapi apa yang gue lihat? Hanya tatapan dingin, senyum-senyum kecil, atau cuma membaca sekilas terus menaruhnya sembarangan atau cuma melipatnya, dan menyimpannya diantara tumpukan kertas-kertas bekas untuk kemudian dilupakan…. dicampakkan”

“Hahahaha…..” tawa itu, gue sama sekali nggak lagi ngelucu. Dasar loe bro! Ternyata loe sama aja dengan mereka. Pahit!


“Sori, gue nggak lagi nyepelein loe dan selebaran butut loe yang apa itu… terbitnya aja kalo lagi pengen, nggak jelas isinya, tata bahasanya kacau, dicetak di tempat potokopian murahan… Oke… paling nggak gue mesti ngasih loe applause untuk kerja keras loe…. Tapi loe mesti nyadar kalo loe itu sangat naif. Loe mengharap dengan selebaran itu loe bisa ngubah seseorang, loe bisa nyadarin dia. Aaakhh… siapa sih loe? Sehebat apa sih loe?”

Hening. Suara jantung beradu dengan desir waktu. Gue tatap selebaran butut di tangan gue yang kebetulan masih tersisa, dari bekas-bekas yang sempat gue pungut.

Gue tarik nafas panjang.

”Yep, bro. Loe emang bener dalam hal itu. Gue naif, ya gue terima… selebaran butut itu emang bukan media yang representatif dan layak untuk diharapkan merubah dan menyadarkan kembali seseorang ke islam. Jauuhh… tapi yang gue permasalahkan adalah betapa hati-hati sudah begitu tertutup, sehingga ketika mendengarkan kebenaran, celah-celah dalam hati mereka tidak ada yang mampu terbuka….. Beda banget ketika gue bandingin dengan perilaku para sahabat dan tabi’in yang gue baca dalam sirah, ketika mereka diperintah untuk suatu kebaikan atau dilarang dari suatu kemunkaran, maka mereka bersegera dan berlomba untuk melaksanakannya. Suatu ketika turun ayat tentang haramnya minuman keras, maka seketika para sahabat membuang minuman-minuman keras yang ada di tangannya.. Madinah banjir dengan minuman keras…. tiada pembangkangan atau pikir-pikir dulu. Ketika diturunkan ayat tentang wajibnya memakai jilbab, maka para wanita di Madinah segera mencari apapun yang bisa digunakan untuk menutupi aurat mereka… Sekali lagi nggak ada yang namanya ragu, atau alasan nunggu datangnya hidayah dulu. Ah, gue merindukan zaman itu… dimana amal adalah kompetisi, iman mengakar, dan ketaatan adalah segalanya. Dan era inilah sebenarnya sebuah kenaifan sejati, dimana kemunkaran meraja, ketaatan hanya terhimpit di kolong-kolong mushalla”


”Oke… oke… bolehlaaaah… trus mau loe apa? Loe nulis kemarin tentang pacaran, jadi pengen loe yang baca selebaran loe itu sadar, terus tobat, mutusin pacarnya. Alaaahh, loe pikir sesederhana itu?”

”Pinter. Loe kok tahu cita-cita gue? Dasar paranormal loe, bro. Gue yakin bahwa semua orang itu pada dasarnya tahu tentang hukum haramnya pacaran. Setahu gue ulama-ulama sepakat tentang haramnya aktivitas maksiat itu… Jadi nggak ada sama sekali dalil yang bisa digunakan untuk mengatakan kalo pacaran itu mubah, makruh, apalagi sunnah dan wajib. Jadi sebenarnya apa sih yang menghalangi mereka untuk nyadar? Manusia itu pada dasarnya cenderung pada fitrah, cenderung kepada kebenaran. Nah, masalahnya adalah di bisikan syaitan. Syaitan emang selalu berusaha menyesatkan manusia… dengan berbagai cara, membikin rasa manis di maksiat, dan kepahitan dalam taat. Maksiat semacam pacaran sengaja dikasih bumbu oleh syetan dengan bumbu-bumbu penyedap, dihias dengan aneka pesona pembangkit citarasa. Hingga tergiurlah mata yang memandang, terkecap manislah lidah yang mencicip. Namun ketika telah tiba di lambung, menjelmalah jutaan racun, dan binasalah….. Pendek kata, hanya orang begolah yang mau makan racun, hanya orang bego yang begitu mudah dikibuli oleh syetan.

Dan satu hal bro, dalam ajaran islam yang kita yakini (kecuali loe nggak yakin… ya udah.. ke laut aja sana…) gak ada diskriminasi terhadap perintah dan larangan Allah. Wajibnya shalat lima waktu sama wajibnya dengan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Sama halnya… haramnya daging babi nggak ada bedanya dengan haramnya pacaran….. Jadi pacaran sama aja dengan babi!!! sama dari segi keharamannya, dan dari segi kita harus menjauhinya… kenajisannya. Sehingga ayat wa aqimis shalat, yang menyuruh kita untuk mendirikan shalat statusnya sama halnya dengan ayat walaa taqrabuz zinaa yang memerintahkan kita menjauhi segala pintu ke arah zina.”


”Biar gue tegasin lagi, jadi loe berharap orang-orang yang baca tulisan loe kemarin mutusin pacarnya… gitu? Naahh ini dia yang gua gak suka dari loe. Loe itu gak punya perasaan sama sekali. Tegaan banget. Loe gak tahu sih gimana rasanya cinta. Dasar makhluk gak perasa!” wajah ’bro memerah.


”Bahkan, gue adalah orang yang paling berbahagia bila melihat ada seseorang mutusin pacarnya… karena dengan itu, paling nggak dia telah menutup satu pintu yang akan membawanya ke jilatan neraka. Biarin sampai nangis-nangis segala…. dasar cengeng! Bahkan tangis patah hatinya itu juga gak lepas dari bisikan syaitan yang selalu memanas-manasi untuk maksiat.

Namun sesungguhnya gue lebih bahagia lagi bila melihat mereka memilih memutuskan hubungan pacaran dan merajut hubungan yang sah yaitu pernikahan… karena nikah adalah sunnah, nikah adalah salah satu pintu surga…. Jadi kalo memang gak tega mutusin, kalo emang ’manusia sejati’ seharusnya mereka memilih jalan yang halal, yaitu nikah.

Dan tentang guenya yang dituduh gak paham cinta, tegaan, gak perasa… Oke… gue terima kritikan loe… gue itu pada dasarnya suka kritik, apalagi kritik singkong.. alaaah ngaco aja. Maksud gue kalo kritik itu berdasar, gue terima dan gue akan introspeksi. Tapi masalahnya siapa sih sebenarnya yang tegaan, gak paham cinta, dan gak perasa? Setahu gue cinta itu adalah perasaan yang diciptakan Allah yang ditanamkan untuk memperelok perasaan manusia. Nah cinta sejati harusnya nurut pada kehendak dari sang Pencipta. Pada kasus pacaran layakkah itu disebut sebagai cinta sejati? Heh, boro-boro! Jadi siapa sebenernya yang gak paham cinta? Terus masalah tegaan dan gak perasa…. gue rasa predikat ini tepat banget disandang bagi orang-orang fundamentalis pacaran. Mereka itu sudah hilang urat akar perasaannya, sehingga dengan pedenya terang-terangan menentang aturan Allah…. Maafkan gue, karena gue rada kasar bicaranya. Tapi mau gimana lagi? Ketika kita bilangin dengan cara yang halus, mereka malah enjoy-enjoy tak bergeming. Mending gue blak-blakan…”


”Alaaaahhh.. dasar elonya aja yang ekstrimis… radikal loe!!”

”Lho…? siapa sebenarnya yang ekstrimis dan radikal? Gue atau mereka yang pacaran. Oke, gue udah sering bilang, gue emang bukan orang yang sepenuhnya baik, alim, dan bertaqwa… gue nyadar kalo gue masih jauh dari status itu… tapi paling nggak gue berusaha ke arah sana… karena gue percaya bahwa Allah itu Tuhan gue, Allah yang nyiptain gue sekaligus Allah telah membuatkan seperangkat peraturan buat jadi pedoman hidup gue. Allah mencipakan surga bagi yang mengikuti perintahNya, dan menciptakan neraka bagi yang mendurhakaiNya. Gue adalah manusia biasa, gue demen sama surga-Nya yang manifestasi keridhaanNya dan gue ogah masuk neraka, tempat orang-orang yang dimurkaiNya. Jadi apa salah kalo gue berusaha eksis di jalan yang diridhai-Nya? Dan sesungguhnya hanya orang-orang yang radikal dan ekstrim yang dengan pongah menganggap sepi kemurkaan Allah. Malah dengan bangga dengan kemaksiatannya…”


“Yaa… terserah loe lah….!” si bro mendengus kesal.

“Hehehe… terserah gue? Kenapa dikembaliin ke gue? Seharusnya terserah mereka yang pacaran dong! Pilihan itu udah jelas, apa masih mau tetap bermaksiat dengan konsekuensi neraka ditanggung dia sendiri, atau memilih menuju keridhaanNya..

Dan, bro…. gue tegasin sekali lagi kalo gue gak berharap banyak bisa merubah seseorang dengan selebaran butut ini. Tapi gue hanya takut jangan-jangan gue juga termasuk ke dalam golongan yang dimurkai Allah, bila gue hanya diam saat melihat kemunkaran. Gue takut nanti di hari pembalasan Allah menanyai orang-orang yang berpacaran, kenapa mereka berpacaran? Dan mereka menjawab karena gue….. Iya, karena gue nggak mengingatkannya… jangan-jangan malah gue yang dilemparkan ke neraka gara-gara itu…”

Si Bro hanya terdiam. Kayaknya dia udah malas melayani pembicaraan gue… semalas gue juga untuk berlama-lama melayani dia.

”Terakhir, gue nggak peduli gara-gara ini gue jadi dimusuhin orang, gue dijauhin. Gue juga nggak peduli selebaran tulisan gue nggak dibaca lagi, nggak laku lagi… lagian gue nggak pernah jualan selebaran juga kok, jadi gak pa pa biar gak laku….”

Selebaran yang udah kumel tadi gue lipat dan gue press biar bisa masuk ke kantong celana gue… Gue tarik nafas panjang, seraya bersiap beranjak.

Langit masih sebiru semula. Cahaya matahari tetap sayu. Klakson motor berdendang seirama sepoi basah angin yang membawa harum debu aspal. Seiring tapak sepatu butut yang menoreh jejak, menjauh dari pelatar masjid.

”Ya Allah, jadikanlah selebaran butut ini menjadi saksi di akhirat kelak, dan jadikanlah ia pemberat timbangan amal hambamu yang hina ini…. ” desis gue, akhirnya.

Categories:

Leave a Reply